Halaman

Senin, 11 Maret 2013

Petani yang Menabung di Bank

Kategori : Cerita Fiksi

Uang hasil menjual ternak masih kugenggam erat. Yah aku takut sekali kehilangan uang ini. Ini uang hasil penjualan hasil panen padi semester ini. Kudapatkan langsung dari pedagang beras dari kota yang memborong semua padiku.



gambar 1. ilustrasi

Panen besar antara senang dan khawatir
        Hasil panen tahun ini sungguh sangat menggembirakan. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu jumlahnya naik 50%. Kenaikan ini disebabkan  pada tahun ini hama tikus tidak merajalela dibandingkan dengan tahun lalu. Hal ini tentunya aku syukuri, terima kasih Tuhan atas berkah yang Kau berikan.
        Memegang uang yang banyak disore ini justru membuatku deg-degan. Walaupun dalam hati sangat senang, ada kekhawatiran akan terjadi apa-apa terhadap uang ini. Aku menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa tidak ada seseorang yang melihatku menerima uang dari juragan beras. Ya, aku tidak ingin ada seseorang yang melihatnya karena takut mereka akan berbuat jahat padaku. Ungkapan bang napi di acara televisi yang sering kulihat  terbayang-bayang di otakku. Ya kejahatan terjadi bukan hanya terjadi karena niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan, waspadalah waspadalah waspadalah.
         Setelah kupastikan bahwa tidak ada orang yang melihat transaksi kami, buru-buru aku menyimpan uang ini di lemari. Sengaja kusimpan di sana karena itu tempat teraman di rumahku. Selanjutnya kumasukan dalam laci lemari, dan segera kukunci lemari itu. Tidak boleh ada seorangpun yang membuka lemari itu bahkan istri dan kedua anakku.
        Adzhan berkumandang tanda maghrib sudah  tiba, saatnya menunaikan salat terlebih dahulu. Kuajak anak-anakku dan istriku untuk salat berjamah. Kuambil sarung dan peci kesayanganku dan mulailah aku menjadi imam bagi mereka. Namun dalam salatku kali ini aku tidak bisa khusuk. Pikiranku juga tertuju dengan uang yang kusimpan di lemari kamarku. Ya Tuhan, maafkanlah hambamu ini.
       Selesai salat, kuajak istriku berbincang-bincang. Topik yang ingin kubahas adalah tentang uang yang kudapat tadi sore dari hasil penjualan padi. Aku ingin mengajaknya diskusi mau diarahkan kemana uang yang kudapat dari juragan beras itu. Siapa tau dia ada solusi atas kegalauanku malam ini.

"Bu tadi sore bapak sudah dapat uang dari juragan Tohir", kataku
"Oh iya pak, alhamdulillah ya pak akhirnya dibayar juga", jawab istriku
"Tapi bapak bingung bu, mau diapakan uang itu. Lah masa tanam aja belum mulai. Belum lagi bapak khawatir uang sebanyak itu disimpan di rumah, takut kenapa-kenapa"
"Hmmm, sebagian dibelikan emas aja pak, nanti kalo ada apa-apa tinggal dijual", jawab istriku
"Hmmm tapi bapak ragu bu kalo dibelikan emas, mbok-mbok nanti kita butuh. Belum nanti bayar uang sekolah adek sama buat beli bibit", timpalku
"Yo wes to pak, ditabung aja ke bank. Pasti lebih aman dan bisa diambil sewaktu-waktu"
"Oh ngono toh bu, yo weslah besok bapak tak ke bank saja. Moga-moga berkah ya bu," timpalku mengakhiri pembicaraan soal uang ini.

        Selanjutnya pembicaraan kami condong ke pendidikan anak, masa tanam, dan investasi. Ya,  walaupun kami orang desa kami juga berfikir untuk investasi. Tapi jangan dibayangkan kami berbicara tentang saham, reksadana, atau forex. Lah kami ini orang desa, investasinya ya paling cuma emas dan tanah. 
          Puas berbicara tentang investasi masa depankami akhirnya memutuskan untuk tidur. Apalagi hari juga sudah malam saatnya untuk beristirahat. Tapi sebelum tidur tentunya kupastikan dulu uangku yang ada di lemari, apakah masih ada atau tidak? Setelah kuperiksa ternyata masih ada. Alhamdulillah.

Persiapan Menabung di Bank



gambar 2. ilustrasi
     
   Pagi baru menunjuk pukul tujuh pagi tapi penampilanku sudah rapi sekali. Rapi disini menurut pendapatku ya, karena mungkin bagi banyak orang serapi-rapinya aku tetap saja aku terlihat seperti orang desa. Tapi bagiku dengan kulit yang hitam ditambah dengan kemeja sederhana dan celana kain panjang ini penampilanku sudah sangat rapi. Biasanya jam segini aku hanya memakai kaos biasa dan celana pendek. Ya, itu penampilan sehari-hariku jika hendak pergi ke sawah.
       Hari ini tentu saja penampilanku beda, aku hendak pergi ke bank. Bagiku bank itu tempat yang "sakral" dengan segala kebersihannya, keramahannya, dan pengamanannya. Aku jelas tidak mungkin berpenampilan seadanya disana. Apalagi mungkin saja aku bertemu tetangga atau kenalanku di sana, tentunya aku berharap tidak tampil memalukan di sana.
        Kupandang penampilanku di cermin, ya sudah cukup rapi. Tanganku kemudian menyemprotkan deodorant milik anakku yang sengaja kuambil dari kamarnya. Selain rapi aku juga ingin tampil harum di sana. Tentunya bukan untuk menggoda petugas bank perempuan di sana. Aku hanya ingin tampil layaknya aku pergi ke kondangan, tampil rapi. Apalagi ada kebiasaan yang berlaku di desa kami bahwa penampilan ke bank itu harus rapi. Hal itu karena bank tempat yang bersih, jadi kalo penampilan kumel di sana bakal diusir satpam. Aku sih tidak percaya itu, ya masak orang mau nabung diusir karena penampilan. Akan tetapi buat jaga-jaga ya aku ikutin tradisi kampung ini jika pergi ke bank.
        Puas menata penampilan segera aku menuju ke lemari di kamarku. Aku akan mengambil uang yang ada di lemari itu. Kubuka lemari dan mencoba memastikan bahwa uang masih ada. Alhamdulillah, ternyata memang uangnya masih ada. Segera kuambil uang itu dan kumasukkan dalam tas kresek. Selain agar enak dibawa, menggunakan tas kresek kulakukan agar tidak terlalu mencolok saat membawa uang.
          Selanjutnya kupakai jaket dan kumasukkan uangku ke dalam jaket itu. Lalu aku pun berjalan menuju halaman rumah untuk mengambil motor dan bergegas menuju bank. Bank yang kutuju adalah bank yang sudah ada lama sejak aku kecil. Ya sudah puluhan tahun bank ini ada di kecamatan daerahku. Dari ayah ibuku dulu juga menabung di sini, bahkan satu keluargaku menabung di sini juga. Kekeluargaan yang ditonjolkan bank ini sudah mengakrabiku sedari dulu. Tentunya hal ini membuatku tidak ingin berpaling ke lain hati, walau bank lain mulai bertebaran di kecamatanku.

Menabung di Bank

gambar 3. ilustrasi

      Jarak antara bank di kecamatan dengan rumahku sekitar 10 km. Kutempuh sekitar 15 menit menggunakan sepeda motor tuaku. Sesampainya di sana ternyata baru pukul 07.30 WIB dan ternyata bank belum buka. Yah terpaksa aku harus menunggu selama 30 menit karena bank baru buka pukul 08.00 WIB.
       Sembari menunggu aku merokok terlebih dahulu di halaman.Tiba-tiba punggungku ditepuk orang dari belakang. Oh ternyata pak Heri, kenalanku sesama petani.

"We, mas ngapain neng kene?", tanyanya
"Iki pak arep nabung, lah panjenengan?",  tanyaku
"Yo podo to mas, aku yo arep nabung juga" timpalnya

Kemudian perbincangan merembet ngalor ngidul seputar sawah, panen, dan sebagainya. Menyenangkan sekali bagiku bisa bertemu dengannya. Yah, sama-sama petani yang punya pemikiran sama, menabung uang hasil panen kali ini.

      Jam 08.00 WIB pintu masuk bank sudah dibuka. Aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam dan segera menabung uangku. Langkah kakiku kugerakkan menuju ke pintu masuk bank dan dengan ramahnya satpam di sana membukakkan pintu masuk. Yah tidak hanya membukakan pintu masuk, pak satpam pun dengan ramah menanyakan maksud kedatanganku.
      Selanjutnya setelah mengetahui maksud tujuanku untuk menabung, dia membantuku tentang tata cara menabung di bank ini. Aku diminta mengisi slip penyetoran di tempat yang sudah disediakan. Yah, walaupun ini bukan pertama kali aku menabung di bank namun tetap saja ada perasaan takut salah di sini. Maklum terakhir kali aku ke sini sekitar 6 bulan- 7 bulan yang lalu. Tentunya agak-agak lupa bagiku untuk mengisi slip setoran ini. Namun berkat bantuan dari pak satpam ini aku tentu sedikit terbantu.
        Aku memang jarang ke bank, apalagi semenjak aku mempunyai kartu ATM. Sekarang semuanya terasa lebih mudah karena aku bisa menarik uang pagi, siang, malam di ATM yang tersedia di kota kecamatan ini. Yah, hanya disaat-saat tertentu seperti saat habis panen raya inilah aku ke bank untuk menyimpan uangku. Bagiku menabung di bank itu lebih aman dibandingkan menyimpan di rumah. Aku juga tidak mempermasalahkan adanya biaya administrasi sebesar Rp 10.000,00 yang ditarik bank dari rekeningku tiap bulan. Bagiku selain aman, menabung di bank juga membuatku tidak boros. Kupikir daripada membawa uang di kantong atau menaruh di rumah, menyimpan di bank membuatku lebih hemat. Aku hanya menggunakan uangku untuk hal-hal yang kuperlukan saja untukku dan keluargaku saja.
        Setelah aku mengisi slip setoran, segera aku mengambil nomor antrian. No antrianku adalah no 8, padahal orang yang dilayani baru saja orang dengan no antrian 2. Itu tandanya aku harus menunggu terlebih dahulu. Tentunya daripada menunggu sambil berdiri aku memutuskan untuk duduk saja di bangku yang sudah disediakan. Duduk-duduk sambil mengamati sekelilingku. 
          Tampak di depanku ada dua orang teller perempuan yang sigap dan ramah dalam melayani nasabah. Hmmm, tidak terlalu cantik memang, namun dengan penampilannya yang bersih dan rapi mereka terlihat sangat menarik. Selanjutnya ada juga dua orang petugas customer service yang ada dibangku sampingku, satu laki-laki dan satu perempuan. Perempuan yang menjadi customer service di sini cukup cantik. Tiba-tiba saja aku ingin mengenalkannya kepada puteraku yang paling dewasa. Siapa tahu saja jodoh, hahaha.
          Tibalah giliranku untuk maju ke depan teller. Yap, no urut 8 sudah dipanggil dan itu tandanya aku harus segera beranjak dari tempat dudukku. Kubuka tas kresek yang memuat semua uangku dan kuhitung kembali di depan teller. Ya ingin kupastikan lagi bahwa nominal yang kusetor sama dengan uang yang aku bawa. Nah, setelah yakin segera aku serahkan uangku, buku tabungan, beserta slip setoran kepada teller. Dia kemudian menghitung uangku dan menyebutkan nominal yang ingin aku tabung. Selanjutnya dia mengetik di depan komputernya dan aku tidak tahu apa yang dikerjakan disitu. Bagiku sebagai orang desa yang penting nanti uangnya tercatat di buku tabungan dan menambah saldo uangku di sana, hahaha.
         Hanya dalam hitungan beberapa menit selesai sudah transaksiku di sana. Yah, sangat cepat dan akurat. Kubuka buku tabunganku dan memang sudah tercatat saldoku yang bertambah. Hal ini tentunya sangat melegakan bagiku. Malam ini tentunya aku bisa tidur nyenyak.
          Satu hal yang kusuka dari bank ini. Selain memperlakukan nasabahnya dengan baik dan ramah, pelayanannya juga semakin cepat saja. Tentunya ini sangat membantu orang-orang sepertiku. Yah aku tentunya berharap bank tertua di kecamatan kami dan identik dengan warna biru ini bisa terus meningkatkan pelayanannya sehingga orang-orang sepertiku nyaman untuk menabung di bank.
            Puas sudah rasanya menyimpan uang di bank. Selanjutnya aku segera pulang dan menuju ke rumah. Ya hari ini si petani ini menyimpan uangnya di bank. Harapanku nantinya sampai panen padi lagi masih ada sisa tabunganku di sana. Aku memang setiap panen raya selalu menyisihkan saldo di sana jangan sampai habis. Bahkan ada sebagian uangku yang aku depositokan. Untuk jaga-jaga juga jika terjadi apa-apa. Apalagi si adek (anakku yang paling kecil) masih sekolah. Masa depannya masih panjang. Aku tentunya berharap bisa menyekolahkan dia sampai perguruan tinggi. Siapa tau dia bisa lebih sukses dari bapaknya.


*karangan ini merupakan cerita fiksi dan tidak memiliki keterkaitan dengan pihak manapun.

Ragunan, 11 Maret 2013

D Fajar Novianto
       




 



Tidak ada komentar: